https://www.kemenkeu.go.id/Artikel/menanti-berakhirnya-era-penghindaran-pajak

Pada umumnya pengusaha selalu memaksimalkan keuntungan. Salah satu cara untuk memaksimalkan keuntungan dengan menghindari bayar pajak. Penghindaran pajak merupakan cara memanfaatkan celah hukum sehingga pengusaha tidak bayar pajak atau bayar pajak tetapi sangat kecil.

Para perencana keuangan telah lama mempelajari ketentuan perpajakan dari berbagai yurisdiksi perpajakan. Termasuk ketentuan dalam perjanjian perpajakan (tax treaty). Kemudian menawarkan skema bisnis kepada pengusaha agar terhindar dari kewajiban perpajakan.

Masalah penghindaran pajak dalam sepuluh tahun terakhir mengemuka dan mendapatkan perhatian otoritas perpajakan Internasional. Pemicunya krisis global tahun 2008. Krisis ini menyebabkan negara-negara kesulitan mencari sumber pendapatan. Satu-satunya cara dengan mendongkrak penerimaan perpajakan. Namun kendala yang dihadapi saat itu praktik perencanaan pajak (tax planning) oleh perusahaan multinasional sangat agresif sehingga perusahaan hanya membayar pajak sedikit saja.

Masalah penghindaran pajak seperti itu bukan masalah satu negara karena praktik penghindaran pajak meliputi beberapa negara. Mengatasinya tidak dapat dilakukan oleh satu negara saja tetapi perlu upaya bersama karena masalah yang dihadapi juga masalah bersama. Karena itu, OECD mempelopori upaya bersama untuk menghilangkan praktik-praktik penghindaran pajak dengan memprakarsai Global Forum on tranparency and exchange of information for tax purposes (Global Forum). Sampai dengan Juni 2017, anggota Global Forum sudah mencapai 142 anggota.

Salah satu upaya Global Forum dalam memerangi penghindaran pajak dengan pertukaran informasi dari dan untuk anggota. Baik pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) atau atau pertukaran informasi karena permintaan (EoIR). Global forum kemudian membuat standar pertukaran informasi melalui common reporting standar (CSR).Sebuah media elektronik yang digunakan oleh semua anggota untuk saling bertukar informasi keuangan baik mengirim maupun menerima.

Indonesia sebagai anggota G20 dan Global Forum telah memberikan komitmen untuk berpartisipasi dalam pertukaran informasi ini. Pada bulan Juni 2015, Indonesia menandatangani Multirateral Competent Authority Agreement (MCAA). Perjanjian ini bertujuan memberikan fasilitas pertukaran informasi antar anggota Global Forum.

Pertukaran informasi melalui CSR memiliki banyak keuntungan, diantaranya tiga keuntungan berikut: pertama, cakupan pertukaran informasi meliputi semua lembaga keuangan di semua negara anggota Global Forum. Bukan hanya lembaga perbankan, tetapi termasuk perasuransian, pasar modal, bursa perdagangan berjangka komoditi, dan lembagakeuangan lainnya. Selain itu, pertukaran informasi meliputi hampir semua negara sehingga hampir tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi.

Kedua, pengumpulan informasi yang komprehensif. Proses identifikasi, pengumpulan, dan analisis data berada pada tingkat entitas lembaga keuangan. Contoh, OECD mengharuskan lembaga perbankan untuk melakukan proses identifikasi dan validasi informasi KYC setiap nasabah.

Ketiga, kerahasiaan informasi keuangan terjamin karena otoritas perpajakan selalu dalam pengawasan dan assessment dari Global Forum. Standar manajemen informasi akan diterapkan di semua anggota Global Forum. Jaminan keamanan ini sangat penting untuk memberikan kepercayaan bagi lembaga keuangan maupun nasabah.

Penerbitan Regulasi

Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 70/PMK.03/2017 sebagai salah satu syarat untuk pertukaran informasi melalui CSR. Masyarakat tidak perlu antipati dengan aturan baru ini karena justru akan banyak keuntungan yang didapat.

Bergabung dengan masyarakat internasional untuk pertukaran informasi keuangan artinya Indonesia akan mendapatkan informasi keuangan yang berasal dari lembaga keuangan luar negeri dan dalam negeri. Informasi ini sangat penting bagi Ditjen Pajak untuk mengungkap modus-modus penghindaran pajak. Hal yang terpenting, Ditjen Pajak memiliki data valid untuk menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.

Tax Justice Network menyebut bahwa tax havens telah hilang. Kabar gembira ini menyusul pengumuman OECD pada akhir Juni 2017 bahwa hampir semua negara sudah lulus uji untuk pertukaran informasi, kecuali satu negara yaitu: Trinidad and Tobago.

Kesiapan anggota Global Forum untuk saling bertukar informasi keuangan memberikan harapan adanya pertukaran informasi keuangan yang sangat besar. Ditjen Pajak sebagai otoritas perpajakan di Indonesia dapat memanfaatkan tsunami informasi keuangan ini untuk membongkar tax gap. Berdasarkan perhitungan internal Ditjen Pajak, tax gap di Indonesia sekitar 20% dari PDB.Jika PDB Indonesia tahun 2016 sebesar Rp12.406 triliun maka ada potensi yang belum tergarap sebesar Rp2.481 triliun. Angka ini tentu akan semakin naik seiring dengan pertumbuhan PDB Indonesia.

Ditjen Pajak tidak berarti membiarkan adanya tax gap. Hanya saja karena keterbatasan Ditjen Pajak selama ini dalam mengeksplorasi pelaku ekonomi sebenarnya. Bagi petugas pajak, rahasia bank dan nomor identitas tunggal merupakan masalah besar. Sekarang, dengan bersatunya otoritas pajak di seluruh dunia maka Indonesia tidak mungkin lagi mempertahankan rezim rahasia bank. Semua negara harus membuka diri untuk keperluan perpajakan, atau dikucilkan oleh negara lain.